Opini:
![]() |
By Picture: MimbarBebas |
Tingkat korupsi di Indonesia pada tahun 2016 yang
dikeluarkan Transparency International (TI), sebuah badan anti korupsi di
Berlin Jerman masih sangat mengerikan. Menurut data Corruption Perceptions
Index (CPI) 2016, Indonesia hanya mendapat score 37, kalah jauh dengan negara
negara tetangga di Asean, seperti Brunei
Darussalam yang mendapatkan score 58, Malaysia 49 dan Singapura 84. Sementara untuk
score tertinggi se dunia masih ditempati Denmark, Kanada, Finlandia, swedia dan
Swiss.
Korupsi menjadi salah satu penyakit lama dan kronis
bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga hari ini, bahkan semua
pergantian rezim yang terjadi di republik ini selalu tidak lepas dari isu-isu
korupsi.
Kita masih ingat dengan jelas, penyakit korupsi telah mengantarkan
32 tahun kekuasaan Orde Baru tumbang, 1998, pada saat itu munculnya gerakan
Reformasi salah satunya di picu mengguritanya perilaku Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN) rezim Orba.
Setelah rezim Orba Tumbang dan berganti Era Reformasi, pada
awalnya semangat memberantas KKN menjadi agenda utama dan menjadi prioritas,
namun sayangnya dalam proses perjalanannya hingga sekarang pemberantasan
korupsi seperti menemui jalan buntu.
Kekuasaan datang silih berganti, mulai dari era Habibie,
Gusdur, Megawati, SBY dan sekarang di era Jokowi. dalam setiap masanya tersebut
tingkat KKN di sinyalir bukannya berkurang, malah justru semakin mengerikan. Bahkan
saking mengerikannya, perilaku korupsi di anggap menjadi hal yang biasa (Corruption
as Usual). Sampai-sampai kita sering mendengar istilah korupsi berjama’ah,
salam tempel, jual beli Jabatan, dsb.
Sebenarnya berbagai upaya pemberantasan Korupsi sudah
dilakukan sejak zaman era Orde Lama, ketika itu istilah korupsi mulai dikenal.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 menjadi payung hukum pertama pemberantasan
korupsi di Indonesia. Akan tetapi usaha pemberantasan korupsi tersebut tidak membuahkan
hasil yang signifikan.
Kemudian Pada masa Orde Baru, upaya pemberantasan korupsi
juga sudah dilakukan dengan hadirnya sejumlah kebijakan, seperti pembentukan
Tim Pemberantas Korupsi (TPK) melalui Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967.
Empat tahun kemudian DPR merilis UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana
Korupsi, serta sejumlah peraturan dan perundangan lain. Namun usaha tersebut
seperti sia-sia belaka.
Pemerintahan demokratis di era Reformasi pun juga berupaya
memperioritaskan pemberantasan Korupsi, namun sebagaimana yang kita lihat hari
ini, elite-elite penguasa korup sampai pejabat kelas bawah pun justru sering
kita jumpai melakukan korupsi yang jauh sangat masif. Berbagai kejahatan
korupsi itu sudah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
merusak tatanan ekonomi, merusak penegakan hukum dan berujung rusaknya struktur
sosial.
Dalam berbagai banyak teori penyebab perilaku korup para
pejabat negara, ada tiga faktor pendorong yang di yakini memunculkan terjadinya
perilaku korup tersebut, diantaranya corruption by need (korupsi karena
keinginan), corruption by greed (korupsi karena keserakahan), dan corruption by
Oppotunities (korupsi karena ada kesempatan).
Menarik apa yang di sampaikan mantan Bupati Kebumen dua
periode (2000-2008) dan Wakil Gubernur Jawa Tengah (2008-2013), Rustriningsih
yang juga peraih Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) pada 2007
dan peraih Nominasi Tokoh Good Governance Local Governance Support Program (
LGSP) dari USAID pada 2007. Dia memberi solusi bahwa salah satu awal untuk “memerangi
korupsi harus di awali dari sistem rekruitmen yang bersih dan transparan”.
Solusi Rustriningsih ini sangatlah benar adanya, karena kita
tahu selama ini bahwa proses perjalanan berbangsa dan bernegara kita telah di
rusak oleh penyakit “korupsi” yang sepertinya sudah tidak ada obatnya. Hal ini karena selama ini
berbagai proses politik maupun proses-proses lainnya yang terjadi di
pemerintahan sudah di awali dengan proses yang tidak transparan dan sadisnya
lagi berujung pada proses-proses pragmatis transaksional.
Sudah menjadi rahasia umum misalnya, seseorang kader
partai maupun yang bukan kader partai ketika akan di calonkan sebagai kepala
daerah atau wakil kepala daerah dituntut untuk melakukan politik transaksional,
hal ini juga terjadi di lingkup pemerintahan yang kita kenal dengan jual beli
jabatan.
Proses rekruitmen yang tidak bersih dan tidak transparan yang
terjadi sejak dini ini telah membuka dan menuntut seseorang untuk berperilaku
korup dan pragmatis pada proses-proses selanjutnya. Minim profesionalitas,
integritas, dan kualitas kepemimpinan yang di hasilkan dari sistem rekruitmen yang
tidak transparan dan bobrok ini, misalpun ada terjadi transparansi itupun masih
sedikit dan belum sesuai yang diharapkan.
Sudah saatnya, para elit-elit pemegang kekuasaan, baik
itu ketua partai, kepala daerah, dsb, bersama-sama berkomitmen membenahi proses
sistem rekruitmen melalui cara-cara yang bersih dan transparan agar dihasilkan
sebuah pemerintahan yang bersih, jauh dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Negeri ini harus berlari mengejar ketertinggalan dengan
salah satunya menciptakan pemerintahan yang bersih, yang didalamnya mengandung
prinsip-prinsip pertanggungjawaban, Transparansi, partisipasi dan kepastian
hukum tanpa harus dirusak dengan perilaku korup para pejabatnya. Tak akan ada demokrasi
sejati dan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat jika Korupsi masih menggurita.
Anis Pertiwi Jepara
(Penulis dan Analis Sosial Politik)
ConversionConversion EmoticonEmoticon