Para ahoker selain membully, juga
sering membangga-banggakan kinerja kepemimpinan Ahok (Basuki Tjahaya Purnama)
untuk merendahkan lawan-lawan politiknya, bahkan Ahok di kesankan seorang
pemimpin yang paling hebat dan bersih dari KKN. Jika ada yang membongkar dan
mengingatkan berbagai kasus-kasusnya maka dianggap isu basi dan mengada-ada. Benarkah
demikian? Mari kita bongkar keculasan Ahok selama memimpin DKI Jakarta
paska Jokowi.
Fakta menunjukkan APBD DKI
Jakarta 67,1 triliun, jumlah yang tidak sedikit untuk seukuran provinsi yang
hanya seluas 661,52 kilometer persegi dan hanya memiliki lima kota administrasi
dan satu kabupaten dengan 44 kecamatan dan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa.
Dengan APBD yang begitu besar itu
mestinya Ahok benar-benar bisa berbuat lebih banyak dan mampu membuat hal yang
lebih besar dari kinerjanya selama ini yang dibangga-banggakan para tim
suksesnya itu.
Fakta membuktikan permasalahan
DKI Jakarta sampai hari ini masih sama, yakni soal macet, banjir,
skandal-skandal KKN, bahkan semakin menakutkan bagi rakyat miskin dengan
kebijakan penggusuran.
Setelah terbongkarnya Kasus
skandal reklamasi yang begitu mencengangkan dan dramatis telah membuka mata
publik, bahwa ahok selama mejabat sebagai gubernur DKI tidak terlepas dari
perselingkuhan dengan para pengembang properti, utamanya Podomoro, terbongkar
fakta jika Ahok selama ini mengelola anggaran off budget dengan dalih dana
kontribusi tambahan, kebijakan diskresi, pengumpulan sumbangan, dsb, yang nota
bene melanggar UU dan manfaat lebih besarnya justru kembali ke pengembang..
Kebijakan Ahok yang tak kalah
culas adalah terkait beberapa program yang sekilas bagus namun faktanya penuh
manipulatif dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, contoh: program
pengadaan bus trans Jakarta yang ternyata tanpa melalui tender dan tercium
aroma nepotisme (koncoisme).
Kemudian kasus pembelian lahan
rumah sakit Sumber Waras Rp 755 miliar seluas 3,6 Ha yang konon demi mewujudkan
rumah sakit khusus kanker, namun faktanya ada skandal korupsi besar dibelakangnya.
Kemudian kasus korupsi dana
politik yang konon untuk membangun rumah mewahnya di pemukiman mewah Pantai
Mutiara yang berjejer dengan para taipan, kasus proyek Thamrin City dan Waduk
Pluit yang menguntungkan Agung Podomoro dan merugikan PT Jakpro selaku BUMD
pemprov DKI. Kasus korupsi Dermaga Manggar yang merugikan uang negara 22
milyar, kasus tukar guling Taman BMW dengan Agung Podomoro. Dsb.
Dari catatan berbagai kasus KKN
diatas tak kalah mengerikannya juga terkait tidak kurang 113 penggusuran paksa di
tahun 2015 yang syarat pelanggaran HAM oleh Ahok, bahkan ditengarai kebijakan
penggusuran tersebut tidak lain hanya demi menguntungkan para taipan pengembang
properti.
Jika melihat catatan fakta diatas,
sejatinya menunjukkan bahwa kepemimpinan Ahok lebih banyak keburukannya dari
pada manfaatnya. Bahkan daya rusaknya sampai kelembaga-lembaga penegak hukum
yang selalu mandul ketika berhadapan dengan Ahok.
Ahok persis seperti Orde baru
yang menunjukkan kebijakan-kebijkan baik dan pro rakyat, namun fakta
membuktikan lain, daya rusak dan otoriterianisme orba luar biasa selama 32
tahun.
Ahok tak ada empati dan
keberpihakan sama sekali ke pada rakyat, kebijakan Ahok tak lebih hanya
menguntungkan kelas-kelas elit pengembang dan demi kepentingan operasi politik
Ahok sendiri walaupun dengan bungkus pembangunan rusun, pembangunan taman,
penataan pemukiman, dsb.
Jika dalam setiap pesta demokrasi
yang lalu kita di ingatkan untuk tidak memilih calon pemimpin “kucing
dalam karung”, kali ini Ahok bak “Srigala Berbulu Domba”. Memberi
rakyat makan jangung, selebihnya memberi Taipan makan ingkung (daging).
Dalam konteks kepemimpinan Ahok,
itulah sejatinya cermin rakyat sebagai tumbal pembangunan dan arogansi sang
pemimpin culas.