Sudahlah!, Lupakan Saja Sri Mulyani, Kembali ke Niat Awal.

Mbuwang tilas (pura-pura tidak bersalah atau tidak berdosa) Sri Mulyani Indarwati (SMI) kepada Bangsa dan Republik ini akibat berbagai kebijakan yang dibuatnya. Kita masih ingat betul ketika 2008 terjadi mega skandal century sebesar 6,7 Triliun diduga melibatkan SMI yang waktu itu menjabat ketua KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), kasusnyapun menguap dimakan buto ijo dan buru buru SMI dipoles kembali oleh tangan-tangan sang majikannya.


Nama SMI yang dipuja-puja dengan penghargaan internasional tak lantas membuat rakyat dan Republik ini kunjung sejahtera. Faktanya Republik ini semakin tertinggal dari negara-negara Asia lainnya seperti China, hongkong, Singapura, dsb. Walaupun para menteri keuangan negara-negara tersebut tak mendapatkan gelar menteri keuangan terbaik se Asia sebagaimana SMI. Rekam jejak mereka juga tidak lekat dengan berbagai skandal keuangan, termasuk utang berbunga super tinggi dan tak berkualitas ala SMI.


Presiden Joko Widodo yang serius berkehendak kuat membangkitkan dan mensejahterakan negara dan rakyatnya dengan menegakkan jalan Trisakti, mewujudkan agenda Nawacita dan berspirit Revolusi mental sampai sejauh ini justru kita saksikan betapa melambungnya utang luar negeri, agenda Tri Sakti - Nawacita tak seramai spanduk-spanduk, baliho-baliho, dsb pada 2014 silam


Masuknya SMI dijajaran kabinet Pemerintahan Joko Widodo sejak 2016 silam membuat banyak pihak pesimis, akankah agenda besar Tri Sakti barangkali sang Presiden hanya "khilaf" atau karena spanduk-spanduk Revolusi Mental itu belum lagi terpasang dijalan-jalan seperti 2014 yang lalu. Atau karena menjulangnya utang-utang itu karena jalan abu-abu yang dilaluinya.

Pikiran dan semangat Presiden Joko Widodo yang selalu menekankan pentingnya "urip iku kudu urup" (bermanfaat untuk sesamanya), dalam bahasa sang pemimpin dengan rakyatnya, "seorang pemimpin itu harus berusaha keras mensejahterakan rakyatnya" pasti tidak akan mungkin sejalan dengan SMI yang lebih menekankan "Urup iku Kudu Urip", bagaimana rakyat harus menghidupi para pelaku pasar besar berkelas korporasi-korporasi internasional dan lembaga-lembaga donor internasional. Cara khas yang dipakai ala SMI biasanya dengan memangkas anggaran,mencabut subsidi, hingga menggenjot utang.


Waktu tidak lantas berakhir ketika seorang pemimpin melakukan "khilaf", walau seharusnya tak ada maklum untuk pemimpin yang salah jalan, karena kebijakannya berdampak terhadap 270 juta rakyat Indonesia plus masa depan anak cucunya, namun masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. 1,5 tahun kedepan adalah waktu untuk presiden Joko Widodo melakukan evaluasi diri, memperbaiki diri, kembali ke jati diri awal, luruskan niat yang sempat bengkok, serius menjalankan idiologi pengusung kepentingan wong cilik, ekonomi kerakyatan. 1,5 tahun bukanlah waktu yang panjang dan tepat, namun dengan sisa sedikit waktu tersebut akan membuat pemerintahan Joko Widodo kembali menjadi harapan rakyat. Pertumbuhan ekonomi diatas 6%, daya beli masyarakat tinggi, hingga kebutuhan dasar hidup rakyat tercukupi dengan baik. " Ojo Milik Barang Kang Melok, Ojo Mangro Mundak Kendo" (jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah (penghargaan-penghargaan internasional SMI), jangan pula berfikir dan bertindak mendua (Trisakti - Neoliberalisme), agar tidak luntur niat dan semangatnya (menjalankan Tri Sakti - Nawacita).


"Memayu Hayuning Bawana, Am Brastra Dur Hangkara" (Manusia - pemimpin hidup didunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

Apalah artinya seorang pemimpin jika tujuan dan caranya hanya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan semata, berkongsi dengan penghisap rakyat (kapitalisme internasional) demi melanggengkan kekuasaannya, misi mensejahterkan rakyat terlupakan, misi mewujudkan keadilan sosial berubah akibat keserakahan dan ketamakan akibat gelap mata sang pemimpin, maka gelap pula jalan yang ditempuh, gila harta dan gila kekuasaan. Gaya Presiden Joko Widodo yang jauh dari selera-selera seperti itu masih ada harapan, dan semua harus dibuktikan.


Jangan sampai Tri Sakti - Nawacita - Revolusi Mental hanya berhenti dalam tataran spanduk-spanduk, Pamflet-pamflet, hingga seminar-seminar. Apalagi plus utang-utang. Dan seorang SMI bukanlah sosok yang tepat untuk merealisasikan janji-janji itu, membumikan Tri Sakti dan Nawacita. SMI justru sosok yang berpotensi mengubur Tri Sakti dan Nawacita itu sendiri. Keadilan sosial akan semakin jauh dari kenyataan jika jalan ekonominya saja semakin menjauh dari kepentingan kerakyatan. Alangkah baik dan bijaknya, sudah lupakan saja SMI !.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment