Kebijakan Ekonomi Sri Mulyani Hanya Membuat Sesak Napas Ekonomi Rakyat



Sudah di ingatkan berkali-kali, garis kebijakan ekonomi Neoliberal di Indonesia tak akan mampu menciptakan kebangkitan bangsa dan kesejahteraan rakyat.


Kebijakan pengetatan anggaran, tarik subsidi dan membabi buta hanya kejar pajak demi menutup cicilan bayar hutang hanyalah cara pandang kebijakan ekonomi Bank Dunia dan hanya menyenangkan Kreditor-kreditor asing semata, tapi rakyat dan bangsa "buntung" dan "sesak napas" akibat kebijakan ala Sri Mulyani tersebut.


Sudah Sejak tahun 1960-an akhir, ekonomi indonesia "dikebiri" oleh kebijakan Neoliberal yang mulai diterapkan sudah membuat bangsa ini "kembang kempis" hanya begitu-begitu saja. Tragisnya lagi kebijakan tersebut sekarang dilanjutkan diera yang katanya "era pengusung cita-cita Tri Sakti dan Nawacita".


Padahal dulu pendapatan per kapita negara-negara Asia sama-sama di bawah 100 dollar AS, seperti China, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand, termasuk Indonesia. Namun setelah perjalanan 50 tahun, pendapatan per kapita negara-negara tersebut jauh melesat meninggalkan Indonesia.


Korea Selatan misalnya pendapatan perkapitanya melesat ke 35.000 dollar AS. Sementara yang lain juga melesat mencapai 15.000 dollar AS. Tapi Indonesia hanya 3.500 dollar AS per kapita.


Maka jangan heran jika bangsa kita terus tertinggal dari negara-negara tetangga Asia lainnya, penghargaan "Menteri Keuangan" terbaik se Asia yang diperoleh Sri Mulyani tak berbanding lurus dengan kebangkitan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia, sementara negara-negara Asia lainnya bisa bangkit walau menteri keuangannya tak mendapat sanjungan "menteri keuangan terbaik".


Karena ekonomi "kembang kempis", termasuk akhir-akhir ini akibat kebijakan Menkeu Sri Mulyani yang melakukan "pengetatan" (potong-potong anggaran) dan panik kejar target pajak.

Lebaran kali ini saja Juni 2017 rata-rata pedagang kecil mengeluh, "penjualan" di tanah abang misalnya hanya 30%,

semua rata di blok A, B dan F. Penjualan turun rata-rata pedagang hanya 50-70%. Barang-barang jualan mereka terpaksa digudangkan akibat loyonya daya beli masyarakat. Ekonomi lemes, pertumbuhan ekonomi stagnan, ketimpangan ekonomi tinggi, belum lagi gempuran barang-barang dari China. kondisi yang berulang setiap tahun di basis-basis ekonomi rakyat.


Penjualan Avgas juga turun dibanding 2016. Pengusaha kelas menengah seperti outlet Seven Eleven malahan tutup bin bangkrut. Janji-janji Sri Mulyani perbaiki ekonomi hanyalah retorika belaka.


Indeks Pembangungan Manusia (IPM) dalam posisi biasa-biasa saja, IPM yang diukur berdasarkan kecukupan gizi masyarakat, makanan, pendidikan, kesehatan, hingga akses terhadap air bersih. Indonesia hanya menempati urutan ke 133 dari 188 negara dan wilayah (2015), kisaran urutan IPM yang begitu-begitu terus dan menyedihkan dibawah cenkeraman ekonomi Neoliberalisme.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment