Secara Moral, Kinerja dan Institusional, Rini Soemarmo Harus Di Pecat

Pict: Liputan6.com


Akira Amari, salah satu menteri yang berperan kuat dalam konstelasi kabinet Shinzo Abe yang kemudian diangkat sebagai Menteri Ekonomi Jepang pada 2016 mengundurkan diri setelah sebuah surat kabar menyiarkan dirinya menerima uang suap dari salah satu kepala perusahaan konstruksi.

Namun tentu berbeda dengan Rini Soemarmo, walaupun beberapa waktu lalu Brudirect.com pernah memberitakan bahwa hasil pemeriksaan Ji Wenlin pada pertengahan Januari 2016, Rini Soemarno disebut-sebut dalam pemeriksaan kasus korupsi Gubernur Provinsi Hainan Ji Wenlin‎ China, Namun Rini Soemarmo tak lantas lalu mengundurkan diri.

Perdana Menteri Islandia, Sigmundur Gunnlaugsson, mengundurkan diri setelah namanya tercantum dalam bocoran dokumen firma hukum Panama, Mossack Fonseca. Namun hal itu juga tidak lantas bagi Rini Soemarmo, yang namanya juga dipublikasikan oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan tercatat Menteri BUMN tersebut memiliki badan usaha offshore One World Limited Investment dan First Union Consultant Limited, atas nama Rini Mariani Soewandi.

Chiu Wen-ta, menteri kesehatan Taiwan mengundurkan diri setelah 8 anak buahnya sudah terlebih dahulu mengundurkan diri karena lalai dan mengakibatkan beberapa produk makanan terkontaminasi minyak.

Namun lagi-lagi dalam konteks kegagalan kinerja sangatlah beda dengan Rini Soemarmo. Walaupun
Beberapa anak buahnya terlibat banyak korupsi di BUMN, seperti kasus korupsi RJ Lino, mantan Dirut Pelindo II, kasus korupsi Emirsyah Satar, mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Kasus korupsi M. Firmansyah Arifin, Dirut PT PAL, dsb. Namun tak lantas membuat Rini Soemarmo malu dan mengundurkan diri.

Bahkan beberapa kebijakan ambisius Rini Soemarmo selaku menteri BUMN yang terbukti gagalpun tak lantas juga membuat Rini mengaku bersalah, malu dan mundur, seperti contohnya
Kasus paling memilukan adalah kabar besarnya kerugian maskapai Garuda Indonesia Grup akibat mendatangkan 17 unit pesawat baru untuk tujuan melayani penerbangan rute Internasional. Kerugian besar tersebut seperti ada unsur kesengajaan.

Pasalnya sekitar pertengahan 2015, rencana itu sudah diwanti-wanti Dr. Rizal Ramli agar tidak melakukan pembelian pesawat tersebut, namun Rini Soemarmo ngeyel dan tetap membeli dan ujung-ujungnya Garuda mengalami kerugian sebesar 283,8 juta dolar AS (atau sekitar Rp 3,77 triliun, kurs Rp 13.314 per dolar).

Selain soal kerugian Garuda, ada juga kerugian besar BUMN hasil investigasi BPK, yang konon terindikasi Rini Soemarmo melakukan pembiaran, yakni indikasi kerugian keuangan negara PT Pelindo II yang mencapai 4,08 triliun rupiah pada perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan Pelindo II dengan PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT). Akibat skandal Pelindo II ini perseteruan Rini Soemarno dan DPR pun terjadi.

Menteri BUMN tersebut dilarang menghadiri rapat kerja di DPR, termasuk dengan mitra kerjanya di komisi VI DPR sejak pansus Pelindo II menyerahkan hasil rekomendasi ke paripurna DPR tanggal 23 Desember 2015 yang diantaranya meminta Presiden Joko Widodo untuk memberhentikan Rini Soermarno sebagai menteri BUMN karena melakukan pembiaran terhadap terjadinya skandal besar-besaran di Pelindo II. Praktis sejak saat itu hingga hari ini, sudah dua tahun lebih Rini Soemarmo tak pernah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR.

Dilarangnya menteri BUMN melakukan RDP dengan DPR sungguh puncak dari kegagalan kinerja dan komunikasi seorang menteri BUMN yang kerjanya mengelola aset 5000 Trilliun lebih.

Setelah secara moral, Rini Soemarmo tak mempunyai sensitifitas sebagai seorang pejabat publik, di boikotnya Rini oleh DPR juga menunjukkan ketidaklaziman dalam praktek ketata negaraan, dan menteri BUMN tersebut juga sudah tidak mempunyai dukungan politik dalam setiap langkah-langkah kinerja, sejarah paling tragis selama Indonesia Merdeka hingga hari ini, seorang menteri yang nota bene mitra kerjanya di boikot oleh DPR hingga jangka waktu bertahun-tahun.

Tak ada pilihan lain bagi Presiden Joko Widodo harus segera memecat Rini Soemarmo yang terbukti gagal menjaga dukungan moralitas publik, tanggung jawab kinerja, maupun dukungan politik yang menjadi pijakan dalam bernegara.

Soal pecat memecat anggota kabinet memang hak prerogratif Presiden, namun suara rakyat patut didengarkan oleh Presiden atas pertimbangan moralitas pertanggungjawaban publik, selain kinerja Rini yang hanya menjadi beban pemerintahan Jokowi dan kepincangan bernegara atas diboikotnya Rini oleh DPR.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment